Yandti Putri Jajuli

Oke, tuh nama saya. Beberapa orang ada yang manggil saya Yanti, Mamen, Mamben, Cumi, Nese, Elis, yah it's up to you lah mau manggil apa juga. Asal jangan panggilan jelek aja. Coz ada yang bilang katanya "Nama adalah Doa" ... Nah lho, makanya manggil saya yang bagus bagus ya. Biar jadi doa. Hehe ...
Yuph, terlahir tanggal 20 Juli 1993 di Subang yang sampai sekarang masih aja jadi tempat saya tidur, makan, sekolah, dan melakukan hal-hal lainnya. Ya pokoknya buat siapa aja yang pengen kenal nih contact punya saya ...
















Allah, izinkan aku berguna

Semoga cerita ini dapat bermanfaat :)
***
Waktu itu hari Minggu, sudah hampir tepat satu minggu batukku tak hilang juga. Dan tepat empat hari suaraku serak. Seperti habis teriak-teriak. Mamaku yang khawatir karena setiap malam sekitar pukul 03.00 ku terbangun karena batuk, mengajakku pergi ke dokter. Saat itu tepat pukul 07.00. Mama menyuruhku siap-siap. Beliau menyuruhku bergegas. "Mumpung masih pagi, nanti dokternya penuh" katanya. Aku pun segera bergegas ke kamar mandi. Tapi pikiranku tertuju pada satu hal. Latihan. Hari itu jadwalku latihan di rumah guruku. Rencananya pukul 11.00. Apa aku bisa latihan hari itu?
Di tempat dokter, aku ditanyai beberapa hal yang biasa ditanyakan dokter. Lalu dokter itu memeriksaku. Menekan beberapa bagian perut dan dadaku. Lalu kemudian bertanya "Yang ini sakit?" dan aku hanya mengangguk. Karena memang sakit.
Setelah turun dari ranjang, aku agak sedikit pusing. Mama berbicara dengan dokter itu. Sayup-sayup ku dengar pembicaraan mereka. Lalu aku mendekat, sedikit demi sedikit. Aku terkaget mendengar segelintir kata-kata dokter tersebut. "Saya trauma dengan pasien penyakit ini. Kadang beberapa dokter lain tak mau mengungkapkannya. Tapi ini demi kebaikan anak ibu. Jika tak segera diobati, akan bahaya untuk masa depannya. Dia akan susah mendapatkan keturunan. Bahkan mandul. Dan jika dia akan bekerja di suatu perusahaan, mungkin akan langsung dicoret. Istirahatlah beberapa hari. Lalu habiskan obatnya. Jangan lupa hasil rontgen-nya laporkan lagi pada saya." Ucap sang dokter.
Ya Allah, apa ini? Sebegitu parahkah? Mandul? Tak terbayang olehku. Impian gadis kecil tentang kehidupan masa depannya yang indah bersama suami, anak-anak, orang tua harus berwarna hitam. Harapan membahagiakan orang tua dengan menjadi orang yang sukses, menjadi kelam.
Mataku berkaca-kaca. Tapi ku sembunyikan di balik jaketku. Aku tak mau terlihat oleh Mama. Setelah dari dokter, Mama mengajakku berjalan-jalan sebentar. Lalu beliau berkata "Jangan ikut latihan lomba dulu ya. Kamu istirahat aja dulu. Trus jangan bilang kita jalan-jalan dulu ya sama Papa." katanya tersenyum. Tapi aku malah tambah sedih. Senyum Mama pasti hanya ingin menenangkanku. Dan latihan lomba itu, padahal aku ingin mengikutinya. Supaya aku bisa memenangkan lomba dan buat Mama bangga.
Ya Allah, jika ini jalanku, tak apalah. Tapi aku mohon pada-Mu "ALLAH, IZINKAN AKU BERGUNA"
***

Mohon doanya ya buat gadis yang ada dicerita ini. Semoga dia segera diberi kesembuhan oleh Tuhan. Dan dapat membahagiakan dan membuat bangga semua orang, termasuk yang dia sebutkan Mamanya.

Wajarkah ini?

Pagi itu, waktu memasuki jam pelajaran ke 5 dan 6, tepatnya setelah istirahat. Lalu temanku tiba- tiba menepukku punggungku dan berkata "Pengen curhat tapi malu". Ku ajak dia menuju ke dekat tembok lab (sedang belajar di lab. komputer). 
Temanku menceritakan tentang semua yang dia rasa saat ini (sambil agak dipaksa). Dia bercerita bahwa kini dia selalu merasa kurang (kurang puas) terhadap apa yang dia miliki atau hadapi. Pendapat dia juga dia rasa selalu bertentangan dengan orang lain. Dan tak jarang membuat konflik, khususnya konflik dalam dirinya. Dia juga merasa bahwa dia takut, itu semuanya aneh. Dia merasa dalam dirinya selalu ada dua pihak yang berselisih paham. Dan dia adalah pihak ketiga yang selalu harus menengahi semuanya.
Aku heran atas apa yang dia katakan. Karena beberapa bulan yang lalu aku (saat aku kelas 11), aku merasa hal yang hampir sama, atau mirip dengan yang temanku katakan. Saat aku merasakan hal itu, aku merasa sendiri, dan malah pusing dengan pendapat- pendapat yang bertebaran di kepala, sedangkan aku tak tahu dari mana asalnya pendapat- pendapat itu. Saat kubagikan cerita dengan orang lain, tak ada dari mereka yang mengerti apa yang aku rasa. Oh, iyu sangat buruk! Hingga ku cerita pada seorang temanku yang pendiam. Dan untungnya dia mengerti, dan malah dia bilang, dia juga merasakannya. Namun sekarang, aku merasa lebih baik. Begitu pun dengan teman- pendiamku. Kami merasa lebih terbuka, dan luwes.
Dari sana pertanyaan- pertanyaan aneh muncul. Apa hal ini fase menuju kedewasaan? Apa semua orang juga merasakannya? 

Beginning, bismillah ...

Ini langkah awal saya untuk tak hanya menyimpan pemikiran dan pendapat orang dewasa di dalam kepala saya. Ini langkah awal saya untuk tak hanya berkomentar, tapi berbagi solusi ...
Mudah- mudahan Allah memudahkan ... :))
powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme